Laman

Sabtu, 06 Juli 2013

NUSANTARA - TANAH AIR

SEPENGGAL SULAMAN SEJARAH GORONTALO

Tradisi Makarawo atau membuat sulaman adalah sepenggal sejarah yang pernah diselamatkan kaum perempuan Gorontalo. Dulu Belanda berupaya menghilangkan berbagai tradisi dan identitas lokal. Tradisi ini sudah ada Sejak tahun 1600-an, jauh sebelum Belanda berkuasa di Wilayah Gorontalo tahun 1889.

Saat Belanda masuk ke wilayah Gorontalo ada dua peristiwa penting yang mewarnai. Pertama, banyaknya warga masuk dan menetap dihutan dan wilayah terpencil karena enggan membayar Pajak Pemerintah Belanda. Keturunan orang-orang ini hingga saat ini masih berdiam di hutan dan wilayah terpencil, yang oleh warga Gorontalo dikenal dengan sebutan Polai. Kedua, upaya penghapusan segala bentuk tradisi, adat, dan hal-hal terkait berkesenian atau kebudayaan yang ada pada masyarakat Gorontalo. Saat itu Belanda melihat kekuatan orang Gorontalo terletak pada adat, budaya, dan tradisi. Karena itu, dilaranglah berbagai aktivitas yang terkait dengan adat dan tradisi. Salah satu tradisi yang tidak berhasil dihilangkan oleh Belanda adalah Makarawo. Ini terjadi karena memang tradisi menyulam dilakukan perempuan ditempat tersembunyi didalam rumah dan dilakukan dengan diam. Hingga Belanda meninggalkan Gorontalo, mereka tidak pernah tau tentang tradisi menyulam ini.

Karawo mulai muncul sekitar tahun 1960-an namun belum merupakan produk yang dijual secara bebas seperti barang lain. Karawo pernah diselamatkan dari ancaman kepunahan saat agresi Belanda dan mengalami masa jaya, kini Karawo kembali berada dibawah bayang-bayang kepunahan. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya generasi muda yang berminat memakai  karawo sebagai pakaian, apalagi sebagai penyulam. Saat ini Karawo umumnya dilakukan Ibu rumah tangga yang menyebar disejumlah wilayah di Gorontalo. 
 Karawo yang berarti menyulam adalah tradisi menyulam warga
Gorontalo. Tradisi ini sudah ada sejak 1600-an. Mengerjakan Karawo terbilang rumit,
dimulai dengan mengiris tak putus kain, lalu mencabut serat atau benang
dan bekas benang yang tercabut kemudian disulam berdasarkan motif yang telah dibuat.
Karawo dari Masa ke Masa:
  • Tahun 1600-an tradisi Karawo sudah mulai ada dan dilakukan oleh para wanita.
  • Tahun 1889, Pemerintah Belanda resmi memerintah di Gorontalo dan melarang segala bentuk kegiatan yang terkai adat, tradisi, budaya, dan apapun yang berkaitan dengan kesenian. Namun, Karawo tetap dilakukan dan menjadi "silent culture".
  • 1960-an karawo kembali muncul, namun belum diperdagangkan secara bebas.
  • 1970 dan 1971 digelar seminar adat di Gorontalo untuk mencari apa yang bisa menjadi ciri khas Gorontalo.
  • Tahun 2000, pengguna Karawo marak, saat itu warga ingin menunjukkan identitas terkait rencana pemekaran Gorontalo sebagai provinsi. Namun setelah itu, Karawo mulai surut.
  • 2011 Festival Karawo pertama kali digelar untuk menggugah perhatian pada Karawo dan menjadikan identitas dan ikon Gorontalo.
  • Pasca festival pertama, permintaan Karawo di usaha Karawo meningkat tiga-empat kali lipat. Sejumlah instansi pemerintah dan swasta mulai menetapkan sehari berkarawo dalam sepekan.
  • Tahun 2012, Festival Karawo kembali di gelar.

Berbagai upaya dilakukan untuk mempromosikan sekaligus menaikkan gengsi Karawo, termasuk pada generasi muda. Kemungkinan pada masa kini anak-anak muda lebih senang berada di mal, di warnet , main telepon, dan lainnya. Banyak waktu yang dihabiskan di depan televisi, SMS-an, BBM-an, Facebook-an daripada mengambil kegiatan yang lebih bermanfaat.
Salah satu wujud kepedulian terhadap tradisi Karawo adalah, dimana BI telah melatih sekitar 500 anak dan remaja untuk menyulam. Sebagai langkah awal membuat Karawo tentu harus dibuat Karawo yang enak dipandang, nyaman dipakai, dan dengan model terkini sehingga orang akan lebih berminat dan menaruh perhatian yang baik dengan Karawo tersebut.
Upaya tersebut layak diapresiasikan sebagai upaya membangun benteng pertahanan karawo sebagai identitas budaya Gorontalo.

Sumber Referensi: Kompas, sabtu, 15 desember 2012