PERNALARAN
( PERNALARAN DEDUKTIF)
1.
Pengertian
Pernalaran
Pernalaran berasal dari kata nalar
yang artinya masuk akal atau logis. Dalam buku karangan Gorys Keraf Pernalaran(
reasoning, jalan pikir) adalah suatu proses berpikir yang berusaha
menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju
kepada suatu kesimpulanbila kita bandingkan argumentasi dengan sebuah bangunan,
maka fakta, evidensi, dan sebagainya dapat disamakan dengan batu bata, batu
kali, semen dan lain-lain., atau arsitektur untuk membangun gedung tersebut.
Pernalaran merupakan sebuah proses berpikir untuk mencapai suatu kesimpulan
yang logis.
Pernalaran bukan saja dapat
dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang masih berbentuk polos, tetapi
dapat juga dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang telah dirumuskan
dalam kalimat-kalimat yang berbentuk pendapat atau kesimpulan. Kalimat-kalimat
semacam ini, dalam hubungan dengan proses berpikir tadi disebut proposisi. Proposisi dapat kita batasi
sebagai pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau dapat ditolak karena
kesalahan yang terkandung di dalamnya. Sebuah pernyataan atau preposisi dapat
disangkal atau ditolak bila terdapat fakta-fakta yang menentangnya. Untuk
menjelaskan hal itu perhatikan contoh berikut:
1. Semua
manusia akan mati pada suatu waktu.
2. Beberapa
orang Indonesia memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah.
3. Kota
bandung hancur dalam Perang Dunia Kedua karena bom atom.
4. Semua
gajah telah punah tahun 1980.
Keempat kalimat
diatas merupakan preposisi; kedua kalimat yang pertama dibuktikan kebenarannya,
dan kedua kalimat terakhir dapat ditolak karena fakta-fakta yang ada menentang
kebenarannya. Tapi keempatnya tetap merupakan proposisi.
Proposisi selalu
berbentuk kalimat, tetapi tidak semua kalimat adalah proposisi. Hanya kalimat
deklaratif yang dapat mengandung proposisi, karena hanya kalimat semacam itulah
yang dapat dibuktikan atau disangkal kebenarannya. Kalimat-kalimat Tanya,
perintah, harapan, dan keinginan (desideratif) tidak pernah mengandung
proposisi. Apa yang dapat dibuktikan dari kalimat seperti: “ Siapa yang
mengambil buku itu?”, “ Pergilah dari sini secepatnya!”’ atau “ Mudah-mudahan
kamu selalu bahagia seumur hidupmu”.
Pernalaran dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu pernalaran induktif dan pernalaran deduktif. Dalam
kesempatan tadi, dimana awal tulisan saya telah menyampaikan gambaran umum
tentang pernalaran, sekarang saya akan menguraikan tentang pernalaran deduktif.
2.
Pengertian
Pernalaran Deduktif
Kata deduktif
berasal dari kata Latin deducere( de yang
berarti ‘dari’, dan kata ducere yang
berarti ‘menghantar’, ‘memimpin’). Dengan demikian kata deduktif yang
diturunkan dari kata itu berarti ‘menghantar dari sesuatu hal ke sesuatu hal
lain’. Sebagai salah satu istilah dalam pernalaran, deduktif merupakan suatu
proses berpikir (pernalaran) yang berolak dari suatu proposisi yang sudah ada,
menuju kepada suatu proposisi baru yang berbentuk suatu kesimpulan.
Dalam pernalaran
yang bersifat deduktif, penulis tidak perlu mengumpulkan fakta-fakta. Yang
perlu baginya adalah suatu proporsi umum dan proporsi yang bersifat
mengidentifikasi suatu peristiwa khusus yang bertalian dengan proporsi umum
tadi. Bila identifikasi yang dilakukannya itu benar, maka dapat diharapkan
suatu kesimpulan yang benar.
Oleh karena itu
bila kita membandingkan pernalaran dalam induktif dan pernalaran dalam deduktif,
maka kesimpulan dalaminduktif mengandung kemungkinan kebenaran. Benar tidaknya
proporsi itu tergantungdari kebenaran sifat-sifat data yang dipergunakan itu.
Sebaiknya
3.
Cara
Penarikan Simpulan dalam Pernalaran Deduktif
Penarikan
simpulan ( konklusi ) secara deduktif dapat dilakukan secara langsung dan dapat
pula dilakukan secara tidak langsung.
(A).
Menarik Simpulan secara Langsung
Simpulan
secara langsung diambil dari satu buah premis.
a) Tidak
satu pun S adalah P ( Premis )
Tidak
satu pun P adalah S ( Simpulan )
Contohnya :
-
Tidak sebuah duku pun adalah kelengkeng. ( Premis )
-
Tidak sebuah kelengkeng pun adalah duku. ( Simpulan )
b) Semua
S adalah P ( Premis )
Tidak
satu pun S adalah tak – P ( Simpulan )
Contohnya :
-
Semua nuklir adalah senjata berbahaya. ( Premis )
-
Tidak satu pun nuklir adalah senjata tidak berbahaya. ( Simpulan )
c) Semua
S adalah P ( Premis )
Sebagian
P adalah S ( Simpulan )
Contohnya :
-
Semua manusia berdarah panas. ( Premis )
-
Sebagian yang berdarah panas adalah manusia. ( Simpulan )
d) Semua
S adalah P ( Premis )
Tidak
satu pun S adalah tak – P ( Simpulan )
Tidak
satu pun tak – P adalah S ( Simpulan )
Contohnya :
-
Semua macan adalah bertaring. ( Premis )
-
Tidak satu pun macan adalah tidak bertaring. ( Simpulan )
-
Tidak satu pun yang tak berbelalai adalah gajah. ( Simpulan )
(B). Menarik Simpulan secara Tidak
langsung
Menarik simpulan secara tidak langsung
dapatdibedakan menjadi beberapa bentuk. Simpulan secara tidak langsung diambil
dari dua premis. Premis yang pertama adalah premis yang bersifat umum dan untuk
premis yang kedua lebih bersifat khusus. Dari kedua premis inilah akan
dihasilkan sebuah simpulan.
1).
Silogisme Kategorial
a.
Pengertian
Yang dimaksud dengan
silogisme adalah suatu bentuk proses pernalaran yang berusaha menghubungkan dua
proposisi (pernyataan ) yang berlainan untuk menurunkan suatu kesimpulan atau
inferensiyang merupakan proposisi yang ketiga. Kedua proposisi yang pertama
disebut juga premis berasal dari kata praemissus yang merupakan
bentuk partisipium perfektum dari kata praemittere; prae ‘sebelum’, ‘lebih
dahulu’; mittere ‘mengirim’). Batasan silogisme hipotesis dan silogisme
alternative.
Secara khusus silogisme kategorial dapat dibatasi sebagai
suatu argument deduktif yang mengandung sutu rangkaian yang terdiri dari
tiga(dan hanya tiga) proposisi kategorial, yang disusun sedemikian rupa
sehingga ada tiga term yang muncul dalam dua pernyataan, misalnya:
1. Semua
buruh adalah manusia pekerja.
2. Semua
tuakang batu adalah buruh.
3. Jadi,
semua tukang batu adalah manusia pekerja
Contoh diatas memenuhi batasan diatas.
Dalam ranngkaian pernyataan diatas terdapat tiga proposisi: (1)+(2)+(3). Dalam
rangkaian ini (silogisme kategorial) hanya terdapat tiga term, dan tiapa term
muncul dalam dua proposisi. Term predikat dari konklusi adalah term mayor dari
seluruh silogisme itu. Sedangkan subyek dari konklusi disebut term minor dari
silogisme, sementara term yang muncul dalam kedua premis dan tidak muncul dalam
kesimpulan disebut term tengah.
b.
Proposisi
Silogisme
Sebagian
sudah dikemukakan diatas, dalam seluruh silogisme hanya terdapat tiga term,
yaitu term mayor, term minor dan term tengah. Juga telah dikemukakan bahwa
dalam tiap silogisme hanya terdapat tiga proposisi, yaitu dua proposisi yang
disebut premis, dan sebuah proposisi yang disebut konklusi. Sehubungan dengan
term-term yang dikandungnya, yaitu premis mayor, ada premis minor dan konklusi.
1. Premis
Mayor adalah premis yang mengandung term mayor dari
silogisme itu. Premis mayor adalah proposisi yang dianggapbenar bagi semua
anggota kelas tertentu. Dalam contoh yang dikemukakan diatas, premis mayor
adalah ‘ semua buruh adalah manusi pekerja’ karena ia mengandung term mayor
yang nantinya akan muncul sebagai predikat dalam konklusi (3). Sebaliknya dari
segi isinya proposisi ini disebut premis mayor karena’manusia pekerja’ dianggap
benar bagi seluruh anggota ’buruh’.
2. Premis
Minor adalah premis yang mengandung term minor dari
silogisme itu. Premis minor adalah proposisi yang mengidentifikasi sebuah
peristiwa (fenomena) yang khusus sebagai anggota dari kelas tadi. Dalam contoh
yang dikemukakan di atas, premis minor adalah ‘ semua tukang bau adalah buruh’,
karena ia mengandung term minor (tukang bau) yang akan muncul sebagai subyek
dalam konklusi. Premis ini mengidentifikasi tukang batu sebagai anggota dari
kelas buruh.
3. Kesimpulan
adalah
proposisi yang mengatakan, bahwa apa yang benar tentang seluruh kelas, juga
benar atau berlaku bagi anggita tertentu. Dalam hal ini, kalau benar semua
buruh adalah manusia pekerja, maka semua tukang batu- yang adalah anggota dari
buruh- juga harus merupakan manusi pekerja.
Dalam
silogisme sebagai yang dikemukakan diatas, buruh merupakan term tengah, karena
ia terdapat baik dalam premis mayor maupun dalam premis minor dab tidak muncul
dalam kesimpulan. Ia disebut sebagai term tengah, karena ia bertindak sebagai
penghubungantar term mayor dan term minor.
c.
Kaidah-kaidah
Silogisme Kategorial
Bila ke 256
bentuk silogisme itu satu persatu diuji kesahihannya, maka akhirnya akan
diperoleh bentuk-bentuk berikut yang dianggap valid.Dengan menerima pandangan
hipotetis (andaikata benar/true) maka silogisme berikut merupakan bentuk yang
sahih:
Dengan
mempelajari bentuk silogisme yang valid, kita dapat merumuskan sejumlah kaidah
yang akan menjamin kebenaran silogisme itu, kalau kaidah itu dituruti secara
seksama.
Kaidah-kaidah
berikut menjamin validitas dari suatu silogisme, baik ditinjau dari sudut
eksistensial maupun dari sudut hipotetis. Demikian pula kaidah-kaidah itu dapat
dipaka untuk mengukur, apakah suati corak pernalaran itu logis atau tidak. Bila
salah satu kaidah tidak dipenuhi maka corak pernalaran itu tidak akan diterima
sebagai sesuatu yang logis.
1. Sebuah
silogisme harus terdiri dari tiga proposisi, ketiga proposisi itu masing-masing
disebut: premis mayor, premis minor, dan konklusi.
Contoh:
Premis
Mayor : Semua petani desa itu
adalah orang-orang jujur.
Premis
Minor : Halim adalah seorang petani desa itu.
Konklusi :
Sebab itu, Halim adalah seorang jujur.
Jika salah satu premis diatas tidak
ada, maka sulit untuk menerima konklusi, atau dengan kata lain: kalau kita
menghubungkan langsung premis mayor dan konklusi,
atau premis minor dengan konklusi, maka konklusinya akan ditolak karena tidak
masuk akal.
2. Dalam
ketiga proposisi itu harus terdapat tiga term, yaitu term mayor yang merupakan
term predikat dari konklusi, term minor yang menjadi subyek dari konklusi, dan
term tengah yang menghubungkan premis mayor dan premis minor. Dalam contoh di
atas orang jujur adalah term mayor, Halim adalah term minor, petani adalah term
tengah.
3. Setiap
term yang terdapat dalam kesimpulan harus tersebar atau sudah disebut dalam
premis-premisnya.
Premis Mayor : Manusia adalah mahluk berakal budi.
Premin Minor : Adi adalah seorang manusia.
Konklusi : Sebab
itu, Adi adalah mahluk berakal budi.
Bila
dalam kesimpulan (konklusi) terdapat term yang tidak pernah disebut dalam premis-premisnya, maka konklusi yang
diturunkan akan tidak logis, misalnya:
Premis Mayor : Manusia adalah mahluk berakal budi.
Premis Minor : Adi adalah seorang manusia.
Konklusi : Sebab
itu, Anita adalah mahluk berakal budi, atau
Sebab
itu, Adi alaha mahluk tidak berakal budi.
4. Bila
salah satu premis bersifat universal dan yang lain bersifat universal dan yang
lain bersifat partikular, maka konklusinya harus bersifat particular.
contoh yang dikemukakan
dalam kaidah (1) dan (3) memenuhi kaidah ini. Kalau konklusinya bersifat
universal, maka silogisme itu juga akan ditolak karena tidak logis, misalnya:
Premis Mayor : Semua mahasiswa adalah orang-orang yang rajin
Premis Minor : Tommy adalah seorang mahasiswa.
Konklusi : Sebab
itu, semua anak bimbingan saya adalah orang- orang rajin.
5. Dari
dua premis yang bersifat universal, konklusi yang diturunkan juga harus
bersifat universal.
Premis Mayor : Semua buruh adalah orang yang suka bekerja.
Premis Minor : Semua tukang
batu adalah buruh.
Konklusi : Sebab itu, semua tukang batu adalah orang
yang suka bekerja.
Seperti halnya dengan kaidah (4), kalau
konklusinya yang diturunkan juga harus bersifat particular, maka silogisme itu
tidak logis.
Premis Mayor : Semua buruh adalah orang yang suka bekerja.
Premis Minor : Semua tukang batu
adalah buruh.
Konklusi : Sebab itu, Ali adalah orang yang suka bekerja.
Dalam hal ini selain melanggar kaidah (5)
silogisme terakhirini melanggar juga kaidah (3).
6. Jika
sebuah silogisme mengandung sebuah premis yang positif dan sebuah premis yang
negative, maka konklusinya harus negative.
Premis
mayornya Negatif:
Premis Mayor : Semua calon mahasiswayang berusia diatas 30 tahun tidak mengikuti perpeloncoan.
Premis Minor : Nina adalah calon mahasiswa yang berusia diatas 30 tahun.
Konklusi : Sebab itu, Nina tidak mengikuti perpeloncoan.
Premis Minornya
negatif:
Premis Mayor : Semua calon mahasiswa yang berusia dibawah 30 tahun harus
mengikuti perpeloncoan.
Premis Minor : Nina adalah calon mahasiswa yang tidak berusia dibawah 30 tahun.
Konklusi : Sebab itu, Nina tidak mengikuti perploncoan.
7. Dari
dua buah premis yang negative tidak dapat ditarik kesimpulan. Sebab silogisme
berikut juga tidak sahih dan tidak logis.
Premis Mayor : Semua anggota PKI bukan warga Negara yang baik.
Premis Minor : Ia bukan seorang
warga Negara yang baik.
Konklusi : Sebab itu, ia seorang anggota PKI.
8. Dari
dua premis yang bersifat particular, tidak dapat ditarik kesimpulan yang sahih.
Premis Mayor : Ali
adalah seorang petinju.
Premis Minor : Ali adalah warga
Negara AS.
Konklusi : Sebab itu, petinju adalah wargaa Negara AS.
Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa
kesahihan (validitas) suatu konklusi tergantung dari pemenuhan syarat-syarat
silogisme. Sebaliknya, kebenaran konklusi tergantung dari kebenaran material
dalam tiap proposisi, yaitu apakah benar: semua petani adalah orang jujur; Halim
adalah seorang petani desa itu; manusia adalah mahluk berakal budi; Adi adalah
seorang manusia; semua mahasiswa adalah orang-orang yang rajin, dan sebagainya.
Sebab itu, pada tahap pertama kita menerimapandangan hipotetis bahwa semua
proposisi itu benar, sehingga masalah yang dihadapi adalah pengujian terhadap
validitas silogisme. Pengujian terhadap kebenaran material dilakukan melalui
penelitian, observasi, dan sebagainya.
Dalam
keadaan tertentu dapat diterimapandangan eksistensial dengan asumsi-asumsi,
bahwa anggota (term) yang ada dalam silogisme itu sungguh-sungguh ada. Dengan
demikian dapat diturunkan 24 bentuk silogisme yang sahih. Karena selalu ada
kemungkinan terdapat kesalahan dalam merumuskan proposisi, maka tugas seorang
penulis bukan sekedar merumuskan proposisi-proposisi itu, tetapi ia juga harus
membuktikan kebenaran dari pernyataan kategorial yang digunakan dalam
silogismenya itu.
2).
Silogisme Hipotetis
Silogisme
hipotesis atau silogisme pengandaian adalah semacam pola pernalaran deduktif
yang mengandung hipotese. Silogisme hipotetus bertolak dari suatu pendirian,
bahwa ada kemungkinan apa yang disebut dalam proposisi itu tidak ada atau tidak
terjadi. Premis mayornya mengandung pernyataan yang bersifat hipotetis. Oleh
sebab itu rumus proposisi mayor dari silogisme ini adalah:
Jika P, maka Q
Untuk mudahnya perhatikan bentuk silogisme hipotetis berikut:
Premis
Mayor : Jika tidak turun hujan,
maka panen akan gagal.
Premis
Minor : Hujan tidak turun.
Konklusi : Sebab itu panen akan gagal.
Atau
Premis Mayor : Jika tidak turun hujan, panen akan gagal
Premis Minor : Hujan turun.
Konklusi : Sebab itu, panen tidak akan gagal.
Walaupun premis mayor bersifat
hipotetis, premis minor dan konklusinya tetap bersifat kategorial. Premis mayor
sebenarnya mengandung dua pernyataan kategorial, yang dalam contoh di atas
adalah : hujan tidak turun, dan panen akan gagal. Bagian pertama disebut
anteseden, sedangkan bagian kedua disebut akibat. Dalam silogisme hipotetis
terkandung sebuah asumsi, yaitu: kebenaran anteseden akan mempengaruhi
kebenaran akibat; kesalahan anteseden akan mengakibatkan kesalahan pada
akibatnya.
Dalam kenyataan, yaiyu bila kita
menhadapai persoalan, maka kita dapat mempergunakan pola pernalaran diatas.
Seorang yang menghadapi suatu peralatan yang rumit, sementara peralatan itu
tidak bekerja, ia terpaksa membuat sejumlah pengandaian yang harus diuji. Jika
bagian X baik, mestinya peralatan itu harus bekerja. Ternyata setelah diuji,
bagian X itu baik. Peralatannya belum bekerja juga. Kalau begitu ia pendah
kebagian Y. kalau bagian Y baik, mestinya perlatan bekerja. Ternyata sesudah
dites, bagian Y baik; peralatan belum bekerja juga. Kemudian ia membuat
pengandaian baru: kalau bagian Z baik, seharusnya peralatan ini dapat bekerja.
Setelah diuji ternyata memangbagian Z tidak berfungsi. Maka bagian Z-lah yang
menyebabkan peralatan itu tidak berfungsi.
3) Silogisme Alternatif
Jenis silogsme yang ketiga adalah silogisme
alternative atau disebut juga silogisme disjungtif. Silogisme ini dinamakan
demikian, karena proposisi mayornya merupakan sebuah proposisi alternative,
yaitu proposisi yang mengandung kemungkinan-kemingkinan atau pilihan-pilihan.
Sebaliknya proposisi minornya adalah proposisi kategorial yang menerima atau menolak
salah satu alternatifnya. Konklusi silogisme ini tergantung dari premis
minornya; kalau premis minornya menerima satu alternatif, maka alternatif
lainnya ditolak; kalau premis minornya menolak satu alternative, maka
alternative lainnya diterima dalam konklusi.
Premis Mayor : Ayah ada di kantor atau dirumah.
Premis Minor : Ayah ada di
kantor.
Konklusi : Sebab itu, ayah tidak ada dirumah.
Atau
Premis Mayor : Ayah ada di kantor atau di rumah.
Premis Minor : Ayah tidak ada
dikantor.
Konklusi : Sebab itu, ayah ada dirumah.
Secara praktis kita juga sering
bertindak seperti itu. Untuk menetapkan sesuatu atau menemukan sesuatu secara
sistematis kita bertindak sesuai dengan pola silogisme alternative itu. Kalau
kita disuruh mencari seseorang karena suatu keperluan, kita bertanya: biasanya
ia berada dimana? Setelah diberi sejumlah tempat, kita lalu mencari orang itu
ke tempat-tempat yang disebut tadi. Dalam hal ini kita akan mulai dengan suatu
tempat pertama sebagai kemungkinan pertama bahwa orang yang dicari ada disana.
Bila disana ternyata orang tidak ada kita akan mencari ke tempat kedua, dan
seterusnya. Sehingga pada suatu saat kita akhirnya bertemu dengan orang yang
dicari. Kalau ternyata bahwa orang yang dicari. Kalau ternyata bahwa orang yang
di cari tidak dijumpai pada suatu tempat yang disebut tadi, itu berarti bahwa
alternative yang diajukan belum cukup.
Secara formal, kalau kita menghadapi
alternative yang lebih dari jumlahnya, maka premis mayornya juga akqan
mengandung alternative drbanyak itu. Misalnya: Ayah ada dikantor, di rumah, di
lapangan golf, atai di kasino. Untuk menguji alternative mana yang benar, kita
pecahkan silogisme di atas menjadi beberapa premis mayor yang mengandung dua
alternative saja.
a. Ayah
ada di kantor atau di rumah.
b. Ayah
ada di rumah atau di lapangan golf.
c. Ayah
ada di lapangan golf atau di kasino.
Bila kenyataannya ayah ada dikasino, maka
pengujiannya harus dilakukan sampai dengan premis mayor ketiga.
4).
Entimen
Silogisme
sebagai suatu cara untuk menyatakan pikiran tampaknya bersifat artifisial.
Dalam kehidupan sehari-hari biasanya silogisme itu muncul hanya dengan dua
proposisi, salah satunya dihilangkan. Walaupun dihilangkan, proposisis itu
tetap dianggap dalam pikiran, dinamakan entimen (dari enthymeme> enthymeme,
Yunani. Lebih jauh kata itu berasal dari kata enthymeisthai yang berarti ‘simpan
dalam ingatan’). Dalam tulisan-tulisan bentuk inilah yang dipergunakan, dan
bukan bentuk yang formal seperti silogisme.
Misalnya sebuah silogisme asli akan dinyatakan oleh
seorang pengasuh ruangan olahraga dalam sebuah harian sebagai berikut:
Premis
Mayor: Siapa saja yang
dipilih mengikuti pertandingan Thomas cup adalah seorang pemain kawakan.
Premis
Minor: Rudy hartono terpilih
untuk mengikuti pertandingan- pertandingan
Thomas Cup.
Konklusi : Seba itu, Rudy Hartono
adalah seorang pemain (bulu tangkis)
kawakan.
Bila pengasuh ruangan olahraga menulis seperti diatas,
dan semua gaya tulisannya sehari-hari mengikuti corak tersebut, maka akan
dirasakan bahwa tulisannya terlalu kaku. Sebab itu ia akan mengambil bentuk
lain, yaitu entimem. Bentuk ini akan berbunyi, “ Rudy Hartono adalah seorang
pemain bulu tangkis kawakan, karena terpilih untuk mengikuti pertandingan
Thomas Cup”.
Persoalan dalam sebuah argumentasi adalah bagaimana
mengemukakan dan mengganalisa kebenaran atau menunjukkan kekeliruan pernalaran
orang lain. Bagaimana ia harus memperlihatkan hubungan antra
proposisi-proposisi yang terdapat dibalik tulisannya itu. Tetapi ia juga harus
merumuskan pernalarannya itu dalam bahasa yang baik. Sebab itu, bentuk
pernalaran seperti bermacam-macam silogisme sebagai yang dikemukakan di atas
harus dikuasai untuk mampu menguji kebenaran dan kesahihan kesimpulan yang
diturunkanya. Namun sesudah itu ia juga berkewajiban untuk
menyampaikankebenaran itu dalam bentuk bahasa yang baik, dalam hal ini ia harus
memilih entimen yang sesuai dengan kebenaran yang ingin disampaikanya itu.
Coba
perhatikan entimen-entimen berikut, dan jelaskan benar tidaknya entimen
tersebut
Ia seorang yang pemalas, sebab ia
sementara beristirahat ketika saya sampai
di tempat kerjanya.
Prof. Hasan adalah seorang sarjana
besar, karena ia membuat banyak penelitian.
Prof. Hasan membuat banyak
penelitian, karena ia seorang sarjana besar.
Karena ia berasal dari daerah
pemberontakan, ia tentu termasuk orang-orang
yang menghendaki federalisme.
Saya tidak setuju dengan
kebijaksanaan itu, karena berarti kehidupan rakyat
akan semakin tertekan.
Pertanyaan
yang timbul, entimen mana yang merupakan entimen yang benar? Untuk itu kita
harus mengujinya kembali dengan menempatkannya dalam silogisme kategorial.
Misalnya kita menguji entimen 2 dan 3. Untuk mudahnya kita sebutkan sebagai
entimen A dan B. ada kemungkinan timbul empat macam pendapat, yaitu :A benar- B
salah, a salah_ B benar, A dan B salah, A dan B benar. Mari kita melakukan
pengujian:
A. Premis
Mayor : Semua orang yang membuat
banyak penelitian adalah sarjana besar.
Premis
Minor : Prof. Hasan membuat banyak
penelitian.
Konklusi : Sebab itu, Prof. Hasan adalah
seorang sarjana besar.
B. Premis Mayor :Semua sarjana yang besar membuat banyak penelitian.
Premis
Minor : Prof. hasan adalah seorang
sarjana besar.
Konklusi : Sebab itu, Prof Hasan membuat
banyak penelitian.
Untuk
menguji validitas kedua silogisme diatas kita mempergunakan Diagram Venn. Kedua
silogisme diatas dapat digambarkan dalam perangkat diagram berikut:
Jadi
dari sudut validitas kedua entimem dapat diterima, tetapi dari segi kebenaran
kedua entimem diatas diragukan kebenarannya. Sebab itulah dari sudut pandang
hipotetis kedua entimem itu benar (termasuk silogismenya), sedangkan dari sudut
pandangan eksistensial tidak diterima.
Dengan
mengembalikan entimem 2 dan 3 ke bentuk silogismenya tampak bahwa proposisi
yang dihilangkan itu adalah proposisi mayor. Dengan demikian proposisi minor
dan konklusinay langsung dikaitkan dalam sebuah kalimat.
Penghilangan
sebuah proposisi kadang-kadang dilakukan dengan sengaja, karena penulis atau
pembicara mengetahui bahwa bila kita menilai dengan cermat premis-premis yang
ada, kita akan menolak pendapatnya. Sebab itu pada waktu menghadapi sebuah
entimem, kita harus bersikap lebih cermat dan waspada. Kalau entimem diragukan
kebenarannya, maka salah satu premisnya juga diragukan kebenarannya. Kalau
entimen ditolak, maka salah satu premisnya juga diragukan kebenarannya. Kalau
entimem ditolak, maka salah satu proposisinya juga ditolak kebenarannya.
5).
Rantai Deduksi
Seringkali
pernalaran yang deduktif dapat berlangsung lebih informal dari entimen.
Orang-orang tidak berhenti pada sebuah silogisme saja, tetapi dapat pula
merangkaikan beberapa bentuk silogisme yang tertuang dalam bentuk-bentuk yang
informal. Misalnya sesudah beberapa kali merasakan buah belimbing, seseorang
akan mengambil kesimpulan: belimbing masam rasanya. Bila pada suatu waktu orang
itu diberi buah belimbing, dengan segera ia membuat sebuah rangkaian deduksi
sebagai berikut:
Semua
buah belimbing masam rasanya. (hasil generalisasi)
Kali
ini saya diberi lagi buah belimbing.
Sebab
itu, buah belimbing ini juga pasti masam rasanya. (deduksi).
Saya
tidak suka akan buah-buahan yang masam rasanya. (induksi: generalisasi)
Ini
adalah buah belimbing masam.
Sebab
itu, saya tidak suka buah belimbing ini. (deduksi)
Saya
tidak suka makan apa saja, yang saya tidak senangi (induksi: generalisasi)
Saya
tidak suka buah ini.
Sebab
itu saya tidak memakannya. (deduksi)
Dalam kenyataan
pernalaran yang induktif dan deduktif memberi pengaruh timbal balik, sebab
secara serempak pernalaran itu dapat bergerak melalui proses- proses kompleks,
dengan menilai evidensi yang ditimbulkan oleh situasi tertentu. Pernalaran itu
melukiskan generalisasi yang tepat dari pengetahuan seseorang, serta
menerapkannya secara deduktif kepada situasi khusus.
Seorang sopir
bus yang sedang mengemudikan kendaraannya disebuah jalan yang ramai melihat,
bahwa dari depan melaju sebuah bus lain dengan kecepatan tinggi. Sebab itu, ia
segera membunyikan klaksonbusnya atau menyalakan lampu untuk memberi peringatan
kepada sang sopir yang ugal-ugalan itu, serta dalam waktu yang bersamaan
berusaha membanting setir ke kiri untuk menghindari kecelakaan. Dalam menghadapai
peristiwa sederhana ini, terdapat suatu rangkaian pernalaran induktif dan
deduktif yang sulit diikuti.
Yang penting
dalam mata rantai induksi- deduksi ini, penulis harus mengetahui norma dasar,
sehingga bila argumennya mendapat tantangan atau bila ia sendiri ragu-ragu
terhadap argument orang lain, ia dapat menguji argument itu untuk menemukan kesalahannya
dan kemudian dapat memperbaikinya, entah kesalahan itu terjadi karena induksi
yang salah, entah kesalahan itu terjadi karena induksi yang salah, entah karena
premis atau konklusi-konklusi deduksi yang salah.
Daftar Referensi :
2. Keraf,
Gorys. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.