Welcome To My Blog

Laman

Selasa, 16 Oktober 2012

PERNALARAN DEDUKTIF


PERNALARAN
( PERNALARAN DEDUKTIF)

1.      Pengertian Pernalaran
            Pernalaran berasal dari kata nalar yang artinya masuk akal atau logis. Dalam buku karangan Gorys Keraf Pernalaran( reasoning, jalan pikir) adalah suatu proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulanbila kita bandingkan argumentasi dengan sebuah bangunan, maka fakta, evidensi, dan sebagainya dapat disamakan dengan batu bata, batu kali, semen dan lain-lain., atau arsitektur untuk membangun gedung tersebut. Pernalaran merupakan sebuah proses berpikir untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis.
            Pernalaran bukan saja dapat dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang masih berbentuk polos, tetapi dapat juga dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang telah dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang berbentuk pendapat atau kesimpulan. Kalimat-kalimat semacam ini, dalam hubungan dengan proses berpikir tadi disebut proposisi. Proposisi  dapat kita batasi sebagai pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau dapat ditolak karena kesalahan yang terkandung di dalamnya. Sebuah pernyataan atau preposisi dapat disangkal atau ditolak bila terdapat fakta-fakta yang menentangnya. Untuk menjelaskan hal itu perhatikan contoh berikut:
1.      Semua manusia akan mati pada suatu waktu.
2.      Beberapa orang Indonesia memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah.
3.      Kota bandung hancur dalam Perang Dunia Kedua karena bom atom.
4.      Semua gajah telah punah tahun 1980.
Keempat kalimat diatas merupakan preposisi; kedua kalimat yang pertama dibuktikan kebenarannya, dan kedua kalimat terakhir dapat ditolak karena fakta-fakta yang ada menentang kebenarannya. Tapi keempatnya tetap merupakan proposisi.
Proposisi selalu berbentuk kalimat, tetapi tidak semua kalimat adalah proposisi. Hanya kalimat deklaratif yang dapat mengandung proposisi, karena hanya kalimat semacam itulah yang dapat dibuktikan atau disangkal kebenarannya. Kalimat-kalimat Tanya, perintah, harapan, dan keinginan (desideratif) tidak pernah mengandung proposisi. Apa yang dapat dibuktikan dari kalimat seperti: “ Siapa yang mengambil buku itu?”, “ Pergilah dari sini secepatnya!”’ atau “ Mudah-mudahan kamu selalu bahagia seumur hidupmu”.
Pernalaran dapat dibedakan menjadi 2 yaitu pernalaran induktif dan pernalaran deduktif. Dalam kesempatan tadi, dimana awal tulisan saya telah menyampaikan gambaran umum tentang pernalaran, sekarang saya akan menguraikan tentang pernalaran deduktif.
2.      Pengertian Pernalaran Deduktif
Kata deduktif berasal dari kata Latin deducere( de yang berarti ‘dari’, dan kata ducere  yang berarti ‘menghantar’, ‘memimpin’). Dengan demikian kata deduktif yang diturunkan dari kata itu berarti ‘menghantar dari sesuatu hal ke sesuatu hal lain’. Sebagai salah satu istilah dalam pernalaran, deduktif merupakan suatu proses berpikir (pernalaran) yang berolak dari suatu proposisi yang sudah ada, menuju kepada suatu proposisi baru yang berbentuk suatu kesimpulan.
Dalam pernalaran yang bersifat deduktif, penulis tidak perlu mengumpulkan fakta-fakta. Yang perlu baginya adalah suatu proporsi umum dan proporsi yang bersifat mengidentifikasi suatu peristiwa khusus yang bertalian dengan proporsi umum tadi. Bila identifikasi yang dilakukannya itu benar, maka dapat diharapkan suatu kesimpulan yang benar.
Oleh karena itu bila kita membandingkan pernalaran dalam induktif dan pernalaran dalam deduktif, maka kesimpulan dalaminduktif mengandung kemungkinan kebenaran. Benar tidaknya proporsi itu tergantungdari kebenaran sifat-sifat data yang dipergunakan itu. Sebaiknya

3.      Cara Penarikan Simpulan dalam Pernalaran Deduktif
Penarikan simpulan ( konklusi ) secara deduktif dapat dilakukan secara langsung dan dapat pula dilakukan secara tidak langsung.
(A). Menarik Simpulan secara Langsung
Simpulan secara langsung diambil dari satu buah premis.
a)      Tidak satu pun S adalah P ( Premis )
Tidak satu pun P adalah S ( Simpulan )
Contohnya :
-          Tidak sebuah duku pun adalah kelengkeng. ( Premis )
-          Tidak sebuah kelengkeng pun adalah duku. ( Simpulan )
b)      Semua S adalah P ( Premis )
Tidak satu pun S adalah tak – P ( Simpulan )
Contohnya :
-          Semua nuklir adalah senjata berbahaya. ( Premis )
-          Tidak satu pun nuklir adalah senjata tidak berbahaya. ( Simpulan )
c)      Semua S adalah P ( Premis )
Sebagian P adalah S ( Simpulan )
Contohnya :
-          Semua manusia berdarah panas. ( Premis )
-          Sebagian yang berdarah panas adalah manusia. ( Simpulan )
d)     Semua S adalah P ( Premis )
Tidak satu pun S adalah tak – P ( Simpulan )
Tidak satu pun tak – P adalah S ( Simpulan )
Contohnya :
-          Semua macan adalah bertaring. ( Premis )
-          Tidak satu pun macan adalah tidak bertaring. ( Simpulan )
-          Tidak satu pun yang tak berbelalai adalah gajah. ( Simpulan )
(B). Menarik Simpulan secara Tidak langsung
     Menarik simpulan secara tidak langsung dapatdibedakan menjadi beberapa bentuk. Simpulan secara tidak langsung diambil dari dua premis. Premis yang pertama adalah premis yang bersifat umum dan untuk premis yang kedua lebih bersifat khusus. Dari kedua premis inilah akan dihasilkan sebuah simpulan.
1). Silogisme Kategorial

a.      Pengertian
Yang dimaksud dengan silogisme adalah suatu bentuk proses pernalaran yang berusaha menghubungkan dua proposisi (pernyataan ) yang berlainan untuk menurunkan suatu kesimpulan atau inferensiyang merupakan proposisi yang ketiga. Kedua proposisi yang pertama disebut juga premis  berasal dari kata praemissus yang merupakan bentuk partisipium perfektum dari kata praemittere; prae ‘sebelum’, ‘lebih dahulu’; mittere ‘mengirim’). Batasan silogisme hipotesis dan silogisme alternative.
           Secara khusus silogisme kategorial dapat dibatasi sebagai suatu argument deduktif yang mengandung sutu rangkaian yang terdiri dari tiga(dan hanya tiga) proposisi kategorial, yang disusun sedemikian rupa sehingga ada tiga term yang muncul dalam dua pernyataan, misalnya:
1.      Semua buruh adalah manusia pekerja.
2.      Semua tuakang batu adalah buruh.
3.      Jadi, semua tukang batu adalah manusia pekerja
Contoh diatas memenuhi batasan diatas. Dalam ranngkaian pernyataan diatas terdapat tiga proposisi: (1)+(2)+(3). Dalam rangkaian ini (silogisme kategorial) hanya terdapat tiga term, dan tiapa term muncul dalam dua proposisi. Term predikat dari konklusi adalah term mayor dari seluruh silogisme itu. Sedangkan subyek dari konklusi disebut term minor dari silogisme, sementara term yang muncul dalam kedua premis dan tidak muncul dalam kesimpulan disebut term tengah.
b.      Proposisi Silogisme
Sebagian sudah dikemukakan diatas, dalam seluruh silogisme hanya terdapat tiga term, yaitu term mayor, term minor dan term tengah. Juga telah dikemukakan bahwa dalam tiap silogisme hanya terdapat tiga proposisi, yaitu dua proposisi yang disebut premis, dan sebuah proposisi yang disebut konklusi. Sehubungan dengan term-term yang dikandungnya, yaitu premis mayor, ada premis minor dan konklusi.

1.      Premis Mayor adalah premis yang mengandung term mayor dari silogisme itu. Premis mayor adalah proposisi yang dianggapbenar bagi semua anggota kelas tertentu. Dalam contoh yang dikemukakan diatas, premis mayor adalah ‘ semua buruh adalah manusi pekerja’ karena ia mengandung term mayor yang nantinya akan muncul sebagai predikat dalam konklusi (3). Sebaliknya dari segi isinya proposisi ini disebut premis mayor karena’manusia pekerja’ dianggap benar bagi seluruh anggota ’buruh’.
2.      Premis Minor adalah premis yang mengandung term minor dari silogisme itu. Premis minor adalah proposisi yang mengidentifikasi sebuah peristiwa (fenomena) yang khusus sebagai anggota dari kelas tadi. Dalam contoh yang dikemukakan di atas, premis minor adalah ‘ semua tukang bau adalah buruh’, karena ia mengandung term minor (tukang bau) yang akan muncul sebagai subyek dalam konklusi. Premis ini mengidentifikasi tukang batu sebagai anggota dari kelas buruh.
3.      Kesimpulan adalah proposisi yang mengatakan, bahwa apa yang benar tentang seluruh kelas, juga benar atau berlaku bagi anggita tertentu. Dalam hal ini, kalau benar semua buruh adalah manusia pekerja, maka semua tukang batu- yang adalah anggota dari buruh- juga harus merupakan manusi pekerja.

Dalam silogisme sebagai yang dikemukakan diatas, buruh merupakan term tengah, karena ia terdapat baik dalam premis mayor maupun dalam premis minor dab tidak muncul dalam kesimpulan. Ia disebut sebagai term tengah, karena ia bertindak sebagai penghubungantar term mayor dan term minor.
c.       Kaidah-kaidah Silogisme Kategorial
Bila ke 256 bentuk silogisme itu satu persatu diuji kesahihannya, maka akhirnya akan diperoleh bentuk-bentuk berikut yang dianggap valid.Dengan menerima pandangan hipotetis (andaikata benar/true) maka silogisme berikut merupakan bentuk yang sahih:
Dengan mempelajari bentuk silogisme yang valid, kita dapat merumuskan sejumlah kaidah yang akan menjamin kebenaran silogisme itu, kalau kaidah itu dituruti secara seksama.
Kaidah-kaidah berikut menjamin validitas dari suatu silogisme, baik ditinjau dari sudut eksistensial maupun dari sudut hipotetis. Demikian pula kaidah-kaidah itu dapat dipaka untuk mengukur, apakah suati corak pernalaran itu logis atau tidak. Bila salah satu kaidah tidak dipenuhi maka corak pernalaran itu tidak akan diterima sebagai sesuatu yang logis.
1.      Sebuah silogisme harus terdiri dari tiga proposisi, ketiga proposisi itu masing-masing disebut: premis mayor, premis minor, dan konklusi.
Contoh:
            Premis Mayor            : Semua petani desa itu adalah orang-orang jujur.
            Premis Minor             : Halim  adalah seorang petani desa itu.
            Konklusi                     : Sebab itu, Halim adalah seorang jujur.
            Jika salah satu premis diatas tidak ada, maka sulit untuk menerima konklusi, atau dengan kata lain: kalau kita menghubungkan langsung premis mayor dan             konklusi, atau premis minor dengan konklusi, maka konklusinya akan ditolak karena tidak masuk akal.
2.      Dalam ketiga proposisi itu harus terdapat tiga term, yaitu term mayor yang merupakan term predikat dari konklusi, term minor yang menjadi subyek dari konklusi, dan term tengah yang menghubungkan premis mayor dan premis minor. Dalam contoh di atas orang jujur adalah term mayor, Halim adalah term minor, petani adalah term tengah.

3.      Setiap term yang terdapat dalam kesimpulan harus tersebar atau sudah disebut dalam premis-premisnya.
Premis Mayor            : Manusia adalah mahluk berakal budi.
Premin Minor            : Adi adalah seorang manusia.
Konklusi                     : Sebab itu, Adi adalah mahluk berakal budi.
Bila dalam kesimpulan (konklusi) terdapat term yang tidak pernah disebut dalam premis-premisnya, maka konklusi yang diturunkan akan tidak logis,   misalnya:
Premis Mayor            : Manusia adalah mahluk berakal budi.
Premis Minor             : Adi adalah seorang manusia.
Konklusi                     : Sebab itu, Anita adalah mahluk berakal budi, atau
                                    Sebab itu, Adi alaha mahluk tidak berakal budi.

4.      Bila salah satu premis bersifat universal dan yang lain bersifat universal dan yang lain bersifat partikular, maka konklusinya harus bersifat particular.

contoh yang dikemukakan dalam kaidah (1) dan (3) memenuhi kaidah ini. Kalau konklusinya bersifat universal, maka silogisme itu juga akan ditolak karena tidak logis, misalnya:
Premis Mayor            : Semua mahasiswa adalah orang-orang yang rajin
Premis Minor             : Tommy adalah seorang mahasiswa.
Konklusi                    : Sebab itu, semua anak bimbingan saya adalah orang-    orang  rajin.

5.      Dari dua premis yang bersifat universal, konklusi yang diturunkan juga harus bersifat universal.
Premis Mayor            : Semua buruh adalah orang yang suka bekerja.
Premis Minor             : Semua tukang batu adalah buruh.
Konklusi                   : Sebab itu, semua tukang batu adalah orang yang suka                                              bekerja.
      Seperti halnya dengan kaidah (4), kalau konklusinya yang diturunkan juga harus bersifat particular, maka silogisme itu tidak logis.
Premis Mayor            : Semua buruh adalah orang yang suka bekerja.
Premis Minor             : Semua tukang batu adalah buruh.
Konklusi                     : Sebab itu, Ali adalah orang yang suka bekerja.
      Dalam hal ini selain melanggar kaidah (5) silogisme terakhirini melanggar juga kaidah (3).
6.      Jika sebuah silogisme mengandung sebuah premis yang positif dan sebuah premis yang negative, maka konklusinya harus negative.

Premis mayornya Negatif:

Premis Mayor    : Semua calon mahasiswayang berusia diatas 30 tahun tidak      mengikuti perpeloncoan.
Premis Minor     : Nina adalah calon mahasiswa yang berusia diatas 30 tahun.
Konklusi               : Sebab itu, Nina tidak mengikuti perpeloncoan.

Premis Minornya negatif:

Premis Mayor  : Semua calon mahasiswa yang berusia dibawah 30 tahun harus mengikuti perpeloncoan.
Premis Minor   : Nina adalah calon mahasiswa yang tidak berusia dibawah 30  tahun.
Konklusi              : Sebab itu, Nina tidak mengikuti perploncoan.

7.      Dari dua buah premis yang negative tidak dapat ditarik kesimpulan. Sebab silogisme berikut juga tidak sahih dan tidak logis.

Premis Mayor            : Semua anggota PKI bukan warga Negara yang baik.
Premis Minor             : Ia bukan seorang warga Negara yang baik.
Konklusi                     : Sebab itu, ia seorang anggota PKI.

8.      Dari dua premis yang bersifat particular, tidak dapat ditarik kesimpulan yang sahih.

Premis Mayor            : Ali adalah seorang petinju.
Premis Minor             : Ali adalah warga Negara AS.
Konklusi                     : Sebab itu, petinju adalah wargaa Negara AS.

            Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa kesahihan (validitas) suatu konklusi tergantung dari pemenuhan syarat-syarat silogisme. Sebaliknya, kebenaran konklusi tergantung dari kebenaran material dalam tiap proposisi, yaitu apakah benar: semua petani adalah orang jujur; Halim adalah seorang petani desa itu; manusia adalah mahluk berakal budi; Adi adalah seorang manusia; semua mahasiswa adalah orang-orang yang rajin, dan sebagainya. Sebab itu, pada tahap pertama kita menerimapandangan hipotetis bahwa semua proposisi itu benar, sehingga masalah yang dihadapi adalah pengujian terhadap validitas silogisme. Pengujian terhadap kebenaran material dilakukan melalui penelitian, observasi, dan sebagainya.
            Dalam keadaan tertentu dapat diterimapandangan eksistensial dengan asumsi-asumsi, bahwa anggota (term) yang ada dalam silogisme itu sungguh-sungguh ada. Dengan demikian dapat diturunkan 24 bentuk silogisme yang sahih. Karena selalu ada kemungkinan terdapat kesalahan dalam merumuskan proposisi, maka tugas seorang penulis bukan sekedar merumuskan proposisi-proposisi itu, tetapi ia juga harus membuktikan kebenaran dari pernyataan kategorial yang digunakan dalam silogismenya itu.
2). Silogisme Hipotetis
Silogisme hipotesis atau silogisme pengandaian adalah semacam pola pernalaran deduktif yang mengandung hipotese. Silogisme hipotetus bertolak dari suatu pendirian, bahwa ada kemungkinan apa yang disebut dalam proposisi itu tidak ada atau tidak terjadi. Premis mayornya mengandung pernyataan yang bersifat hipotetis. Oleh sebab itu rumus proposisi mayor dari silogisme ini adalah:
Jika P, maka Q

     Untuk mudahnya perhatikan bentuk silogisme hipotetis berikut:
Premis Mayor          : Jika tidak turun hujan, maka panen akan gagal.
Premis Minor           : Hujan tidak turun.
Konklusi                   : Sebab itu panen akan gagal.

Atau
  Premis Mayor        : Jika tidak turun hujan, panen akan gagal
                                      Premis Minor          : Hujan turun.                 
                                      Konklusi                  : Sebab itu, panen tidak akan gagal.

            Walaupun premis mayor bersifat hipotetis, premis minor dan konklusinya tetap bersifat kategorial. Premis mayor sebenarnya mengandung dua pernyataan kategorial, yang dalam contoh di atas adalah : hujan tidak turun, dan panen akan gagal. Bagian pertama disebut anteseden, sedangkan bagian kedua disebut akibat. Dalam silogisme hipotetis terkandung sebuah asumsi, yaitu: kebenaran anteseden akan mempengaruhi kebenaran akibat; kesalahan anteseden akan mengakibatkan kesalahan pada akibatnya.
            Dalam kenyataan, yaiyu bila kita menhadapai persoalan, maka kita dapat mempergunakan pola pernalaran diatas. Seorang yang menghadapi suatu peralatan yang rumit, sementara peralatan itu tidak bekerja, ia terpaksa membuat sejumlah pengandaian yang harus diuji. Jika bagian X baik, mestinya peralatan itu harus bekerja. Ternyata setelah diuji, bagian X itu baik. Peralatannya belum bekerja juga. Kalau begitu ia pendah kebagian Y. kalau bagian Y baik, mestinya perlatan bekerja. Ternyata sesudah dites, bagian Y baik; peralatan belum bekerja juga. Kemudian ia membuat pengandaian baru: kalau bagian Z baik, seharusnya peralatan ini dapat bekerja. Setelah diuji ternyata memangbagian Z tidak berfungsi. Maka bagian Z-lah yang menyebabkan peralatan itu tidak berfungsi.

3) Silogisme Alternatif
Jenis silogsme yang ketiga adalah silogisme alternative atau disebut juga silogisme disjungtif. Silogisme ini dinamakan demikian, karena proposisi mayornya merupakan sebuah proposisi alternative, yaitu proposisi yang mengandung kemungkinan-kemingkinan atau pilihan-pilihan. Sebaliknya proposisi minornya adalah proposisi kategorial yang menerima atau menolak salah satu alternatifnya. Konklusi silogisme ini tergantung dari premis minornya; kalau premis minornya menerima satu alternatif, maka alternatif lainnya ditolak; kalau premis minornya menolak satu alternative, maka alternative lainnya diterima dalam konklusi.
Premis Mayor            : Ayah ada di kantor atau dirumah.
Premis Minor             : Ayah ada di kantor.
Konklusi                     : Sebab itu, ayah tidak ada dirumah.
Atau
Premis Mayor            : Ayah ada di kantor atau di rumah.
Premis Minor             : Ayah tidak ada dikantor.
Konklusi                     : Sebab itu, ayah ada dirumah.
            Secara praktis kita juga sering bertindak seperti itu. Untuk menetapkan sesuatu atau menemukan sesuatu secara sistematis kita bertindak sesuai dengan pola silogisme alternative itu. Kalau kita disuruh mencari seseorang karena suatu keperluan, kita bertanya: biasanya ia berada dimana? Setelah diberi sejumlah tempat, kita lalu mencari orang itu ke tempat-tempat yang disebut tadi. Dalam hal ini kita akan mulai dengan suatu tempat pertama sebagai kemungkinan pertama bahwa orang yang dicari ada disana. Bila disana ternyata orang tidak ada kita akan mencari ke tempat kedua, dan seterusnya. Sehingga pada suatu saat kita akhirnya bertemu dengan orang yang dicari. Kalau ternyata bahwa orang yang dicari. Kalau ternyata bahwa orang yang di cari tidak dijumpai pada suatu tempat yang disebut tadi, itu berarti bahwa alternative yang diajukan belum cukup.
            Secara formal, kalau kita menghadapi alternative yang lebih dari jumlahnya, maka premis mayornya juga akqan mengandung alternative drbanyak itu. Misalnya: Ayah ada dikantor, di rumah, di lapangan golf, atai di kasino. Untuk menguji alternative mana yang benar, kita pecahkan silogisme di atas menjadi beberapa premis mayor yang mengandung dua alternative saja.
a.       Ayah ada di kantor atau di rumah.
b.      Ayah ada di rumah atau di lapangan golf.
c.       Ayah ada di lapangan golf atau di kasino.
Bila kenyataannya ayah ada dikasino, maka pengujiannya harus dilakukan sampai dengan premis mayor ketiga.

4). Entimen
              Silogisme sebagai suatu cara untuk menyatakan pikiran tampaknya bersifat artifisial. Dalam kehidupan sehari-hari biasanya silogisme itu muncul hanya dengan dua proposisi, salah satunya dihilangkan. Walaupun dihilangkan, proposisis itu tetap dianggap dalam pikiran, dinamakan entimen (dari enthymeme> enthymeme, Yunani. Lebih jauh kata itu berasal dari kata enthymeisthai yang berarti ‘simpan dalam ingatan’). Dalam tulisan-tulisan bentuk inilah yang dipergunakan, dan bukan bentuk yang formal seperti silogisme.
              Misalnya sebuah silogisme asli akan dinyatakan oleh seorang pengasuh ruangan olahraga dalam sebuah harian sebagai berikut:
Premis Mayor: Siapa saja yang dipilih mengikuti pertandingan Thomas                                                                           cup adalah seorang pemain kawakan.
Premis Minor: Rudy hartono terpilih untuk mengikuti pertandingan-                                                    pertandingan Thomas Cup.
Konklusi  : Seba itu, Rudy Hartono adalah seorang pemain (bulu                                                  tangkis) kawakan.
              Bila pengasuh ruangan olahraga menulis seperti diatas, dan semua gaya tulisannya sehari-hari mengikuti corak tersebut, maka akan dirasakan bahwa tulisannya terlalu kaku. Sebab itu ia akan mengambil bentuk lain, yaitu entimem. Bentuk ini akan berbunyi, “ Rudy Hartono adalah seorang pemain bulu tangkis kawakan, karena terpilih untuk mengikuti pertandingan Thomas Cup”.
              Persoalan dalam sebuah argumentasi adalah bagaimana mengemukakan dan mengganalisa kebenaran atau menunjukkan kekeliruan pernalaran orang lain. Bagaimana ia harus memperlihatkan hubungan antra proposisi-proposisi yang terdapat dibalik tulisannya itu. Tetapi ia juga harus merumuskan pernalarannya itu dalam bahasa yang baik. Sebab itu, bentuk pernalaran seperti bermacam-macam silogisme sebagai yang dikemukakan di atas harus dikuasai untuk mampu menguji kebenaran dan kesahihan kesimpulan yang diturunkanya. Namun sesudah itu ia juga berkewajiban untuk menyampaikankebenaran itu dalam bentuk bahasa yang baik, dalam hal ini ia harus memilih entimen yang sesuai dengan kebenaran yang ingin disampaikanya itu.
Coba perhatikan entimen-entimen berikut, dan jelaskan benar tidaknya entimen tersebut
Ia seorang yang pemalas, sebab ia sementara beristirahat ketika saya                                                  sampai di tempat kerjanya.
Prof. Hasan adalah seorang sarjana besar, karena ia membuat banyak                               penelitian.
Prof. Hasan membuat banyak penelitian, karena ia seorang sarjana                                    besar.
Karena ia berasal dari daerah pemberontakan, ia tentu termasuk                             orang-orang yang menghendaki federalisme.
Saya tidak setuju dengan kebijaksanaan itu, karena berarti kehidupan                                  rakyat akan semakin tertekan.
Pertanyaan yang timbul, entimen mana yang merupakan entimen yang benar? Untuk itu kita harus mengujinya kembali dengan menempatkannya dalam silogisme kategorial. Misalnya kita menguji entimen 2 dan 3. Untuk mudahnya kita sebutkan sebagai entimen A dan B. ada kemungkinan timbul empat macam pendapat, yaitu :A benar- B salah, a salah_ B benar, A dan B salah, A dan B benar. Mari kita melakukan pengujian:
A.  Premis Mayor    : Semua orang yang membuat banyak penelitian adalah   sarjana besar.
Premis Minor       : Prof. Hasan membuat banyak penelitian.
Konklusi                : Sebab itu, Prof. Hasan adalah seorang sarjana besar.

B.  Premis Mayor   :Semua sarjana yang besar membuat banyak penelitian.
Premis Minor       : Prof. hasan adalah seorang sarjana besar.
Konklusi                : Sebab itu, Prof Hasan membuat banyak penelitian.

Untuk menguji validitas kedua silogisme diatas kita mempergunakan Diagram Venn. Kedua silogisme diatas dapat digambarkan dalam perangkat diagram berikut:
Jadi dari sudut validitas kedua entimem dapat diterima, tetapi dari segi kebenaran kedua entimem diatas diragukan kebenarannya. Sebab itulah dari sudut pandang hipotetis kedua entimem itu benar (termasuk silogismenya), sedangkan dari sudut pandangan eksistensial tidak diterima.
Dengan mengembalikan entimem 2 dan 3 ke bentuk silogismenya tampak bahwa proposisi yang dihilangkan itu adalah proposisi mayor. Dengan demikian proposisi minor dan konklusinay langsung dikaitkan dalam sebuah kalimat.
Penghilangan sebuah proposisi kadang-kadang dilakukan dengan sengaja, karena penulis atau pembicara mengetahui bahwa bila kita menilai dengan cermat premis-premis yang ada, kita akan menolak pendapatnya. Sebab itu pada waktu menghadapi sebuah entimem, kita harus bersikap lebih cermat dan waspada. Kalau entimem diragukan kebenarannya, maka salah satu premisnya juga diragukan kebenarannya. Kalau entimen ditolak, maka salah satu premisnya juga diragukan kebenarannya. Kalau entimem ditolak, maka salah satu proposisinya juga ditolak kebenarannya.

5). Rantai Deduksi
Seringkali pernalaran yang deduktif dapat berlangsung lebih informal dari entimen. Orang-orang tidak berhenti pada sebuah silogisme saja, tetapi dapat pula merangkaikan beberapa bentuk silogisme yang tertuang dalam bentuk-bentuk yang informal. Misalnya sesudah beberapa kali merasakan buah belimbing, seseorang akan mengambil kesimpulan: belimbing masam rasanya. Bila pada suatu waktu orang itu diberi buah belimbing, dengan segera ia membuat sebuah rangkaian deduksi sebagai berikut:
Semua buah belimbing masam rasanya. (hasil generalisasi)
Kali ini saya diberi lagi buah belimbing.
Sebab itu, buah belimbing ini juga pasti masam rasanya. (deduksi).
Saya tidak suka akan buah-buahan yang masam rasanya. (induksi:                                      generalisasi)
Ini adalah buah belimbing masam.
Sebab itu, saya tidak suka buah belimbing ini. (deduksi)
Saya tidak suka makan apa saja, yang saya tidak senangi (induksi:                                      generalisasi)
Saya tidak suka buah ini.
Sebab itu saya tidak memakannya. (deduksi)

Dalam kenyataan pernalaran yang induktif dan deduktif memberi pengaruh timbal balik, sebab secara serempak pernalaran itu dapat bergerak melalui proses- proses kompleks, dengan menilai evidensi yang ditimbulkan oleh situasi tertentu. Pernalaran itu melukiskan generalisasi yang tepat dari pengetahuan seseorang, serta menerapkannya secara deduktif kepada situasi khusus.
Seorang sopir bus yang sedang mengemudikan kendaraannya disebuah jalan yang ramai melihat, bahwa dari depan melaju sebuah bus lain dengan kecepatan tinggi. Sebab itu, ia segera membunyikan klaksonbusnya atau menyalakan lampu untuk memberi peringatan kepada sang sopir yang ugal-ugalan itu, serta dalam waktu yang bersamaan berusaha membanting setir ke kiri untuk menghindari kecelakaan. Dalam menghadapai peristiwa sederhana ini, terdapat suatu rangkaian pernalaran induktif dan deduktif yang sulit diikuti.
Yang penting dalam mata rantai induksi- deduksi ini, penulis harus mengetahui norma dasar, sehingga bila argumennya mendapat tantangan atau bila ia sendiri ragu-ragu terhadap argument orang lain, ia dapat menguji argument itu untuk menemukan kesalahannya dan kemudian dapat memperbaikinya, entah kesalahan itu terjadi karena induksi yang salah, entah kesalahan itu terjadi karena induksi yang salah, entah karena premis atau konklusi-konklusi deduksi yang salah.

Daftar Referensi :
2.      Keraf, Gorys. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.